Penulis: Ummu Ziyad
Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti
sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang
yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan
jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan
pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi
sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu
disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.
Aku baru menyadari ada sebagian wanita
yang menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan
oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar
dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya.
Mungkin karena itulah kain-kain itu tidak menutup secara benar kepala
dan dada mereka.
Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas
untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan
agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang
seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah
keindahan itu sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di
hati.
Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang
memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh
atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus
memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang
lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik jilbab
itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa melihat
dari balik cadar yang menutup matanya?
Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua
pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati
untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan
segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang
begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa
surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan
khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah
wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah
usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya.
Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik
lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan
pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat
meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang
dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.
Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain,
seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat
kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”
Ia menjawab, “Tidak sempat kupakai.”
Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk
menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam
mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga
tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.
Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak
tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah
bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada
ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang
sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku,
jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah
sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan
oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan
dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada
Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada
bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.
Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga kelak…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar